Selasa, 08 Maret 2011

Freedom Writer


&tbnh=137&tbnw=95&prev=/images%3Fq%3Dfreedom%2Bwriter&hl=id&usg=__rkO0Wu6fHKGga5efD1fyODkfmio=&ei=ILchS5PcE8yTkAWq5bmnAw&sa=X&oi=image_result&resnum=4&ct=image&ved=0CBkQ9QEwAw



Film ini menceritakan bagaimana sebuah komunitas yang tadinya terkungkung dalam sub komunitasnya masing-masing berusaha membuka diri terhadap sub komunitas yang lain. Bukan hal yang mudah karena selama ini mereka terkungkung dan teracuni dengan stereotype yang melekat pada masing-masing sub komunitas. Dengan fasilitas dari seorang guru yang muda, idealis dan gigih, akhirnya mereka berhasil membaur menjadi komunitas baru yang toleran dengan keberagaman latar belakang suku, agama, ras dan antar golongan yang mereka miliki. No pain no gain, di satu sisi, perjuangan mereka akhirnya menghasilkan sebuah integrasi yang konkret, namun di sisi lain si fasilitator, guru yang bernama Ana Gruwel (Hillary Swank) harus merelakan rumah tangganya berakhir karena suami yang merasa terabaikan dengan kesibukannya untuk memperjuangkan integrasi tersebut.
Bagaimana integrasi itu bisa mereka raih. Caranya adalah dengan tulisan. Yap tulisan. Dengan tulisanlah mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan, apa persepsi mereka dengan orang yang selama ini mereka anggap sekomunitas maupun yang berada di komunitas lain. Ketika tulisan-tulisan itu dibacakan, mereka pun menyadari bahwa sebenarnya ada banyak persamaan di antara mereka, yang tadinya mengelompokkan dirinya menjadi bagian-bagian yang saling berseberangan. Bahwa pengelompokan yang mereka lakukan selama ini justru membodohi mereka sendiri dan menghalangi mereka menjadi pribadi yang lebih maju.
Mereka akhirnya sadar bahwa apa yang mereka alami ini juga dialami oleh berbagai komunitas dan kelompok di muka bumi. Superioritas, merasa diri dan golongannya lebih baik dari yang lain inilah yang mendorong terjadinya konflik antargolongan, antar ras dan antar ras tidak pernah berakhir di muka bumi. Bahkan kadang berakhir dengan lenyapnya golongan tertentu, seperti holocaust terhadap Yahudi dan berbagai genosida lainnya.
Diskusinya dengan beberapa korban Holocaust akhirnya membuka mata mereka. Mereka harus berubah, melenyapkan stereotype mengenai golongan lain, berpikir dan bergaul lebih terbuka, melintasi batasan SARA tersebut. Perubahan ini tentu saja tak semudah yang dibayangkan. Penolakan dari sesama yang selama ini dianggap segolongan adalah halangan awal yang harus mereka hadapi. Bahkan keluarga sendiri pun menentang perubahan ini. Namun mereka tetap gigih melakukannya dan saling memberikan dorongan satu sama lain.
Lebih dari itu, film ini juga memberikan inspirasi bagi kita, terutama teman-teman pendidik, tentang bagaimana mendidik siswanya, tak hanya sekedar mengajar, mentransfer ilmu, seperti yang layaknya terjadi di sekolah-sekolah Indonesia saat ini. Memberikan inspirasi mengenai bagaimana seorang guru bisa benar-benar disegani oleh siswanya, dianggap sebagai sahabat, partner yang sejajar, bukan sosok yang ditakuti, atau bahkan dicela habis-habisan ketika di luar kelas. Memberikan inspirasi bagaimana siswa bisa merasa kelas/sekolah adalah rumah kedua baginya, tempat yang akan selalu dirindukan olehnya.



Artikel Terkait:

0 komentar:

Tuker Link yuk

Mau Tukar Link? Copy/paste code HTML berikut ke blog anda

Tips & Tutorial

free counters